Perut Membesar Dan Membusuk Menjelang Ajal

Perut Membesar Dan Membusuk Menjelang Ajal - Apakah sahabat sedang mencari informasi tentang Berita Pagi Satu ?, Nah isi dalam Artikel ini disusun agar pembaca dapat memperluas pegetahuan tentang Perut Membesar Dan Membusuk Menjelang Ajal, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan referensi dari semua pembahasan untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Kecantikan, Artikel Kesehatan, Artikel Makanan, Artikel Mitos, Artikel Ragam, Artikel Unik, yang kami suguhkan ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Perut Membesar Dan Membusuk Menjelang Ajal
link : Perut Membesar Dan Membusuk Menjelang Ajal

Baca juga


Perut Membesar Dan Membusuk Menjelang Ajal

Perut Membesar Dan Membusuk Menjelang Ajal
AkuIslam.Id - Derita demi derita harus ditanggung Ismi (40 tahun bukan nama sebenarnya), menjelang ajalnya. Tubuhnya yang semula normal, kini berubah menjadi kurus. Sementara perutnya tak lagi seperti sedia kala. Perut itu kini terus membuncit. Persis seperti seorang ibu yang tengah mengandung janin berusia sembilan bulan.

Ilustrasi 

Tidak itu saja. Perlahan tapi pasti, kulit-kulit di separuh badannya penuh dengan luka yang tak kunjung sembuh, hingga akhirnya membusuk. Pun, bau anyir yang menyebar dari separuh tubuhnya yang membusuk itu membuat para pelayat enggan untuk mendekati jenazahnya.

Begitulah derita bertubi-tubi melanda istri Risman (45 tahun bukan nama sebenarnya), saat-saat sebelum ajal menjemputnya. Lentas, dosa apakah gerangan yang telah diperbuatnya dan bagaimana pula jejak keseharian yang ia jalani sepanjang hayatnya?

MENGUSIR IBU KANDUNG


Ibu mana yang tidak sakit hatinya, ketika ia harus diusir oleh anak kandungnya sendiri. Sementara, usia tua yang terus menghampirinya membuatnya tak lagi kuasa untuk mencari nafkah, seperti sedia kala, ketika ia masih kuasa jungkir balik mengais rizki untuk menghidupi diri dan anak-anak serta keluarganya.

Itulah yang dialami Ibu Nini, bukan nama sebenarnya, seorang ibu tua yang usianya telah mencapai lebih dari 90 tahun, yang dengan berdarah-darah melahirkan ismi ke dunia fana ini.

Bagi orangtua seusianya, mampu mengurus dirinya sendiri adalah karunia yang tak ternilai harganya. Adapun untuk urusan mencari nafkah, tentu jauh memungkinkan.

Namun, tidak demikian halnya bagi Ismi. Betapa pun ibu kandungnya itu sudah tua renta, ia harus tetap rajin membantu pekerjaan sehari-harinya di rumah, mulai dari menyapu, mencuci piring, memasak hingga berkebun. Bu Nini yang sudah tua itu terang saja tidak sanggup lagi menangani tugas keseharian seperti itu, seperti yang diharapkan Ismi.

Hari demi hari terus berlalu. Ismi dan Risman biasanya sejak pagi sudah tidak terlihat di rumah. Mereka bekerja di ladang karet di kebun miliknya sendiri.

Sebagai transmigran, setiap bulannya pemerintah mengalokasikan dana untuk kebutuhan sehari-harinya. Sehingga, Ismi dan Risman tak perlu repot - repot untuk sekedar makan maupun memenuhi kebutuhan harian lainnya.

Apalagi tak banyak kelapa yang harus ditanggungnya. Kecuali dirinya, suami dan ibunya, Ibu Nini. Bantuan dari pemerintah sesungguhnya cukup untuk sekedar membantu kelangsungan hidupnya.

Beberapa tahun lamanya, baik Ismi maupun suami dan ibunya terasa begitu menikmati apa yang didapatnya. Suasana harmonis dan kebersamaan sesekali nampak menghiasai keluarga ini. Semua berjalan seperti kebanyakan keluarga pada umumnya. Nyaris tak ada keluhan berarti maupun geliat-geliat lain dari keseharian Ismi sendiri.

Celakanya, kucuran dana dari pemerintah bagi kelangsungan hidup keluarga transmigran layaknya Ismi dan keluarganya tidak berlangsung lama. Setelah beberapa tahun tinggal di lokasi transmigran, pemerintah tak lagi mengucurkan subsidi bagi keluarga itu.

Sejak itulah, pemandangan keluarga Ismi mulai menampakkan tanda-tanda perubahan yang kurang nyaman. Ismi mulai bingung. Sesekali ngomel. Tak jarang emosinya meluap-luap, tak lagi terkontrol.

Hingga suatu hari, persitiwa. memilukan itu pun terjadi. Hari itu terik mentari begitu menyengat. Ismi dan Risman yang baru pulang dari kebun karetnya merasa kecapaian. Letih bercampur haus dan dahaga bercampur menjadi satu. Mereka pun bergegas pulang ke rumah.

Setibanya di rumah Ismi mendapati pemandangan semeraut dan acak-acakan. Tak ada tanda-tanda kalau lantai rumah itu habis disapu. Sementara di kamarnya, Bu Nini tampak membisu.

Ternyata keadaan itu membuat Ismi jengkel dan marah. Ia tidak mampu menahan emosinya yang memuncak. Kepada siapa lagi kemarahan itu harus ia muntahkan, kalau bukan kepada Ibu Nini, ibu kandungnya sendiri.

"Keluaaarrrr... pergiiiiii..... pergiiiiiii!," teriak Ismi marah.

Deggggg! Bak petir di siang bolong, Ibu Nini kaget bukan kepalang. Guratan kesedihan menghujam tajam di dalam dadanya. Tak pernah ia membayangkan kalau anaknya bakal tega bersikap sekejam itu atas dirinya.

Bu Nini yang memang sudah tidak berdaya hanya bisa pasrah. Tidak ada pilihan lain baginya, kecuali menuruti kemauan Ismi, agar dirinya meninggalkan rumah yang sudah lama dihuninya.

Dengan hari teriris dan air mata yang terus menggenang di pelupuk matanya, Ibu NIni menjejakkan langkahnya terseok-seok. Langkah wanita tua itu terhenti di sebuah rumah yang terletak sekitar 200 meter dari rumah Ismi. 

Salim (35 tahun) pemilik rumah itu, tak lain adalah putranya. Ia adik dari Ismi. Salimlah yang kemudian menemani sisa hidup Ibu Nini hingga akhir hayatnya.

Kepada Salim, Ibu Nini mengungkapkan rasa sakit hatinya atas pengusiran dirinya dari rumah Ismi. Saking sakitnya, sampai-sampai ia seolah lebih memilih mati ketimbang hidup harus mengenang sikap kejam anaknya yang tega mengusir dirinya.

"Saya ingin mati," ujar Ibu Nini ketika itu.

Beruntung. Ibu Nini tak mengikuti hawa nafsunya. Sejak dirinya diusir, Ibu Nini lebih memilih menyerahkan segala hidupnya kepangkuan Sang Khalik. Konon, Seperti yang dituturkan Aji (25 tahun), satu bulan lamanya setelah pengusiran atas dirinya, ia berpuasa.

Dan, tak lama setelah itu, Ibu Nini menghembuskan nafas terakhirnya. Innalillahi wa inna ilaihi raji'un.

"Yang melayat banyaknya bukan main. Padahal, kampung ini terbilang kampung baru. Karena baru beberapa tahun dihuni oleh para transmigran. Sampai gang-gang kecil itu penuh," kenang Aji yang juga keponakan Ismi.

"Beras, makanan dan uang bertumpuk. Mungkin karena nenek itu shaleh," tambahnya

TERJERAT LILITAN HUTANG


Kebingungan Ismi semakin menjadi-jadi setelah sekian lama pemerintah tak lagi mengalokasikan bantuannya kepada keluarga transmigran. Apalagi Rika, anak pungutnya, yang telah bertahun-tahun bekerja di sebuah restoran di Amerika tidak lagi bisa diharapkan.

Rika adalah satu-satunya orang yang dianggapnya sebagai anak. Perempuan itu ia asuh sejak kecil. Kabar terakhir yang beredar, Rika diam-diam telah direbut kembali oleh orangtua kandungnya.

Menurut Aji, orangtua Rika merebut kembali Rika ke pangkuannya. Karena, bagi mereka, Rika telah menjadi anak yang bisa dijadikan tumpuan hidupnya, mengingat ia telah mampu berkarir dan menghasilkan uang. 

Kenyataan ini mengharuskan Ismi mencari cara agar bisa terus bertahan hidup. Apalagi Risman sudah lama tidak bekerja. Suaminya itu sudah lama menganggur.

Berbagai upaya pun ia lakukan untuk menopang kebutuhan hidupnya sehari-hari. Salah satunya adalah membuka usaha kecil-kecilan dengan berjualan kue di kampungnya. Namun, ia lagi-lagi Ismi belum juga beruntung. Usaha kecil-kecilan yang dirintisnya dengan menjual kue di kampungnya tak membuahkan hasil yang menggembirakan. Malah bukannya keuntungan yang ia dapatkan. Sebaliknya, ia justru sibuk mencari pinjaman kesana kemari guna menutupi kerugian yang ditanggungnya.

Tetangga, kerabat dan teman-temannya tak luput dari incaran hutangnya. Bahkan Ismi rajin meminjam uang kepada bank keliling.

Sayangnya, gelagat Ismi yang suka meminjam duit, baik ke tetangga maupun ke bank keliling, tidak pernah tercium Risman. Sementara Ismi sendiri tidak pernah berterus terang kepada suaminya. Ia tidak pernah secara gamblang menceritakan ihwal uang yang diperolehnya, dari mana uang itu berasal. Malah Ismi kerap bilang ke suaminya bahwa uang itu adalah hasil jerih payahnya dari menjual kue.

Padahal tidak. Uang yang diperoleh Ismi selama ini adalah hasil pinjamannya dari bank keliling. 

"Sama suami bilangnya dapat uang. Padahal, uang itu hasil meminjam ke bank keliling," terang Aji.

"Seharusnya kan terus terang bahwa uangnya itu hasil dari pinjam," tambahnya.

Aji menyesalkan ketidak terus terangan bibinya terhadap suaminya. Karena, pada akhirnya suaminya jugalah yang menanggung akibatnya.

Ismi hanyalah manusia biasa yang hidup dengan segala keterbatasannya. Beban hidup yang di tanggungnya terlalu berat baginya. Anak angkatnya yang tak lagi bisa diharapkan terus menjadi beban pikirannya. Sementara, perlahan tapi pasti ia terus di kejar oleh jerat-jerat hutang yang melilitnya.

Ismi stres. Dan, Akhirnya jatuh sakit.

PERUT MEMBESAR DAN SEPARUH BADANNYA MEMBUSUK


Memasuki bulan ketiga tubuh Ismi masih tergolek di pembaringan. Tubuhnya terus mengurus, lemah tak berdaya. Apa lagi nyaris tak ada suplai makanan maupun cairan yang masuk ke tubuhnya. Setiap kali Aji mencoba menyuapkan makanan ke mulutnya spontak makanan itu dimuntahkan kembali.

Begitu juga ketika ia menyuguhkan air ke mulutnya, tak juga ditelannya. Meski Ismi sendiri terlihat berusaha untuk menelannya, tapi baik air maupun makanan itu enggan juga masuk ke tubuhnya. Malah ia merasakan sakit yang luar biasa seperti orang dicekik setiap kali mau menelan makanan atau minuman.

Anehnya lagi, meski tak ada suplai cairan dan makanan yang masuk, Namun perutnya terus membesar. Dan, semakin hari perut itu terus membuncit.

"Persis seperti orang yang tengah mengandung sembilan bulan," cerita Aji yang rajin berkunjung ke rumah bibinya ini.

Menurut penuturan Aji yang diperoleh dari keterangan dokter waktu itu, Ismi divonis terjangkit penyakit maag. Namun derita mag yang ditanggungnya tak kunjung sembuh. Meski telah berobat ke mana-mana, hasilnya tetap saja nihil.

Tiba-tiba, Ismi meraung-raung kesakitan. "Huuuuuhhhhh aduuuuu...hhhhhh!" "aaaa.aaaaa....kkk!" Berkali-kali suara jeritan kesakitan itu terdengar dari mulut Ismi.

Bersamaan dengan jarum jam yang menunjuk ke arah angka 6 pagi, suara raung kesakitan itu tak lagi terdengar. Ismi menghembuskan nafas terakhirnya. Yang membuat Aji kemudian heran dan membuatnya tak habis berpikir adalah dalam hitungan menit bagian badanm sebelah kanan Ismi dipenuhi oleh luka-luka yang menjijikan.

"Tubuhnya membiru dan bau bangkai seperti habis digali dari kuburan," cerita Aji

Yang lebih menjijikkan, bau itu tersebar hingga ke berbagai penjuru rumah tetangganya. "Sampai jarak antara seratus meter masih tercium," tambah Aji yang merasa miris dengan kisah sedih yang dialami bibinya itu.

Berbagai upaya dilakukan keluarga untuk mengusir bau busuk itu. Namun apa hendak dikata. Maksud hari memeluk gunung, toh tak kesampaian juga. Meski aneka wewangian telah ditaburkan di dekat jenazahnya, namun tak ada hasil yang menggembirakan. Bau busuk itu tak juga sirna.

Serbuk kopi yang katanya ampuh untuk menghilangkan bau, ternyata tak cukup ampuh mengusir bau busuk itu. Sementara pengharum yang digantung di ruangannya, tak ubahnya pelengkap ruangan semata, tetap saja bau busuk itu menyengat.

Memang, tidak ada kejanggalan berarti selama prosesi penguburannya. Namun sebagaimana dituturkan Aji, tak banyak yang datang sekedar memberikan salam penghormatan terakhir dengan ikut mengantarkan jenazahnya ke persinggahan terakhirnya. Bahkan, seperti lazimnya, tiga hari berturut - turut orang-orang berdatangan untuk mengaji. Tapi, sampai hari ketiga tidak ada seorang pun yang datang untuk mengajikannya.

"Malah setelah jenazahnya dikebumikan, hujan turun tiap hari, Sampai seminggu baru reda. padahal, saat itu bukanlah musim penghujan. Sebaliknya, waktu itu musim panen, biasanya jarang sekali hujan," cerita Aji

Beberapa hari setelah Ismi meninggal, banyak orang yang datang ke rumahnya untuk menagih hutang-hutangnya. Namun, harapan mereka untuk mendapatkan kembali uangnya berujung isapan jempol belaka. Apalagi Risman tidak pernah tahu-menahu kalau Ismi ternyata memiliki banyak pinjaman uang kepada mereka. Lagi pula Risman hanyalah seorang penganggur. Celakanya, hingga saat ini hutang-hutang itu belum juga dilunasi. Sementara keluarganya sudah tidak mau lagi. Wallahu'alam bil shawab


from Aku Islam http://ift.tt/2swK9ve
Sumber KLIK Di Sini atau http://www.akuislam.id/


Demikianlah Artikel Perut Membesar Dan Membusuk Menjelang Ajal

Sekianlah artikel Perut Membesar Dan Membusuk Menjelang Ajal kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan artikel ini.

Subscribe to receive free email updates: